Hal-Hal yang Wajib Diketahui Investor Soal Tapering Off dari The Fed

Pekan-pekan terakhir bulan Agustus 2021 ini, pelaku ekonomi global tampaknya sedang memusatkan perhatiannya pada Bank Sentral Amerika Serikat alias The Fed. Bahkan sejumlah investor pun ikut cemas karena kabar berakhirnya intervensi The Fed, setelah para pejabat utama mereka sepakat melakukan tapering off setidaknya pada akhir tahun 2021 ini.

Tentu saja ketika isu tapering off ini ramai diperbincangkan, berbagai negara pun memberikan respon yang beragam. Indonesia misalnya diwakili oleh Perry Warjiyo selaku Gubernur BI (Bank Indonesia). Dilansir Bisnis, Perry menyebutkan kalau kebijakan penarikan stimulus moneter yang dilakukan The Fed itu sudah pasti akan berdampak pada perekonomian Indonesia.

Hanya saja jika dibandingkan dengan taper tantrum pada tahun 2013 lalu, kebijakan tapering off kali ini tak akan memberikan efek sebesar sebelumnya. Bahkan menurut Perry, BI sudah melakukan langkah antisipasi sejak Februari 2021 lewat kebijakan Triple Intervention, demi menjaga nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS tetap stabil, sehingga tak terlalu limbung bagi perekonomian negara.

Baca juga: Hal-Hal Penting Bagi Investor Saham Jika PPKM Darurat Diperpanjang

Tunggu-tunggu, sebenar, memang apa sih tapering off dan taper tantrum itu?

Nah, bagi Anda yang kini mulai bergelut di dunia bursa efek baik sebagai investor maupun trader, kedua istilah ekonomi tersebut ada baiknya dipahami.

Memahami Tapering Off yang Dilakukan The Fed

apa itu tapering off
© Vecteezy/Константин Миронов

Secara mudahnya, tapering off merupakan kebijakan pengurangan alias pemangkasan pembelian obligasi negara atau aset lainnya. Istilah ini sendiri pertama kali muncul pada tahun 2013 lalu, ketika Ben Bernanke yang kala itu menjabat sebagai Ketua The Fed, memberikan kesaksian di depan Kongres jika instansi yang dia pimpin melakukan pelonggaran kuantitatif alias QE.

QE (Quantitative Easing) ini sendiri sudah pasti merujuk pada pengurangan pembelian obligasi. Saat tapering ini dilakukan di tahun 2013-2014, pada dasarnya merupakan dampak atas krisis keuangan yang menghantam Amerika Serikat di tahun 2007-2008. Kala itu The Fed memang melakukan pembelian beberapa aset dalam jangka panjang, supaya suku bunga turun dan perekonomian bisa bergairah.

Biasanya tapering ini dilakukan The Fed setelah mereka melihat adanya perbaikan ekonomi terutama dalam hal inflasi dan jumlah lapangan kerja. Ketika QE dilakukan, sudah pasti The Fed bakal mengurangi pembelanjaan aset setiap bulannya.

Dan kini ketika pandemi Covid-19 masih belum usai meskipun tingkat vaksinasi semakin dikebut termasuk di Negeri Paman Sam, tampaknya The Fed bakal mengambil langkah tapering off kembali. Setidaknya pasar keuangan dilaporkan cukup terbuka atas opsi tersebut, terutama setelah Gubernur The Fed Jerome Powell makin kuat melakukan pengurangan stimulus moneter.

Taper Tantrum yang Wajib Diwaspadai Pelaku Pasar Keuangan

tanggapan taper tantrum
© Vecteezy/improstd847266

Jika memang tapering off benar-benar dilakukan oleh The Fed, maka tinggal selangkah lagi taper tantrum bakal terjadi. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, taper tantrum justru wajib diwaspadai karena dianggap sebagai salah satu ancaman perekonomian. Kondisi ini jelas tidak baik mengingat Indonesia baru saja lepas dari resesi yang terjadi sejak November 2020 lalu.

Baca juga: Bakal Terjadi di 2021, IPO Gojek Terbesar Dalam Sejarah Indonesia?

Sekadar informasi, taper tantrum merupakan gejolak yang terjadi di pasar keuangan akibat adanya kebijakan tapering off yang dilakukan oleh The Fed.

Tidak terlalu mencemaskan taper tantrum karena bukan pemilik modal besar di pasar keuangan?

Maka itu salah besar!

Ketika The Fed akhirnya resmi melakukan tapering off yang dipelrihatkan dengan adanya pengurangan nilai dalam hal pembelian aset, maka aliran modal bakal keluar dari negara-negara emerging market dan kembali ke Amerika Serikat. Kalau ini terjadi, taper tantrum jelas tak bisa dihindari meskipun menurut Perry, gejolak di pasar keuangan tak bakal ’semengerikan’ tahun 2013.

Hmm, kok bisa begitu?

Dilansir Cermati, ketika perekonomian negara yang dipimpin Joe Biden itu membaik, maka sudah pasti diikuti oleh meningkatnya imbal hasil alias yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) serta inflasi. Investor asing sudah pasti tak mau ketinggalan dengan beramai-ramai meninggalkan pasar keuangan negara berkembang seperti Indonesia karena merasa pasar AS lebih menguntungkan.

Kondisi ini jelas jadi mimpi buruk karena kalau Anda adalah investor atau trader, tentu paham jika pasar keuangan Indonesia memang bagaimanapun juga masih bergantung investor asing. Kendati memang faktanya jumlah kepemilikan investor asing baik di pasar modal dan SBN (Surat Berharga Negara) makin berkurang berkat jumlah peningkatan investor lokal.

Lantaran itulah Perry tetap optimis jika memang taper tantrum terjadi, pasar keuangan Tanah Air tak bakal terlalu bergejolak hebat. Ketika terjadi capital outflow alias hilangnya dana asing, pasar keuangan negeri ini masih tetap mampu bertahan berkat dominasi investor domestik yang sudah makin paham melakukan investasi atau trading di pasar.

Efek yang Ditimbulkan Taper Tantrum ke Perekonomian Indonesia

Taper Tantrum
© VectorStock/tatianastulbo

Nah, dari penjelasan tapering off di atas, tentu akhirnya Anda cukup tahu kalau ternyata bakal memberikan efek yang cukup besar bagi perekonomian negeri ini. Sebelum taper tantrum benar-benar terjadi, berikut beberapa hal yang bisa saja terjadi sehingga ada baiknya Anda waspada terlebih dulu:

Naiknya Suku Bunga BI

Anda masih memiliki kewajiban KPR (Kredit Pemilikan Rumah)? Maka ketika tapering off benar-benar terjadi, harus melakukan persiapan lantaran peluang suku bunga meningkat sangat besar. Kondisi ini jelas tidaklah menyenangkan mengingat perekonomian negeri ini masih limbung berat usai dihantai gelombang kedua Covid-19 yang memicu PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).

Sehingga bisa saja ketika perbankan masih memberikan kelonggaran atas besaran cicilan yang ringan karena suku bunga turun akibat dampak pandemi Covid-19, mendadak meningkat kalau taper tantrum berhembus. Situasi ini jelas tak bisa ditahan lantaran saat The Fed memangkas stimulus moneternya karena perekonomian AS sudah pulih, inflasi dan suku bunga bakal naik kembali.

Apakah BI tak bisa mempertahankan suku bunga supaya tetap rendah?

Tentu saja kondisi itu bakal sulit dilakukan karena BI harus ikut menaikkan 7-Day Reverse Repo Rate (DRRR) demi menjaga minat investor yang ujung-ujungnya supaya ekonomi Indonesia stabil. Dan harga untuk kestabilan pasar keuangan itu harus dibayar cukup mahal dengan ’mengorbankan’ debitur lewat meningkatnya besar cicilan yang jadi tanggungan tiap bulan.

Gejolak IHSG

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, salah satu tanda taper tantrum adalah ’larinya’ investor asing dari pasar keuangan Tanah Air. Yang harus diwaspadai investor saham adalah, kejadian ini jelas bakal membuat IHSG limbung. Seperti yang Anda tahu, kepemilikan investor asing atas IHSG memang masih besar yakni di angka 41,4%.

Sehingga jika dana-dana asing itu keluar akibat tapering off, sudah pasti IHSG bakal berkontraksi meskipun lagi-lagi tidak separah tahun 2013 lalu.

Baca juga: Ungkap Rencana Bisnis, Saham TLKM Melambung di Pasar Modal

Anjloknya Nilai Rupiah

Mungkin bisa dibilang ini adalah dampak utama yang bisa terasa saat tapering off benar-benar dilakukan oleh The Fed. Seperti penjelasan sebelumnya, investor asing bakal menarik dananya dari investasi saham atau obligasi di Indonesia. Kondisi ini akhirnya membuat permintaan akan dolar AS meningkat, orang-orang menukarkan Rupiah dan akhirnya membuat nilai tukar Rupiah rontok.

Sekadar informasi, keadaan taper tantrum itulah yang terjadi di tahun 2013 lalu. Kala itu nilai tukar Rupiah yang awalnya Rp9.300 per Dolar AS langsung melemah hingga Rp14.700 per Dolar AS di bulan September 2015. Sedangkan untuk tahun 2021, dilaporkan jika Rupiah pernah ada di level Rp13.903 per dolar AS pada 4 Januari dan kini jadi Rp14.251 per dolar AS pada 31 Agustus.

Bisa ditebak, saat Rupiah melemah bakal diikuti dengan harga emas yang perlahan meningkat serta produk impor makin mahal. Kalau ini dialami oleh pelaku UMKM yang memang menggunakan bahan baku impor, sudah pasti tapering off akan memberikan dampak ke kelangsungan bisnisnya.

Lantas Apa yang Harus Dilakukan Jika Tapering Off Terjadi?

antisipasi tapering off
© Vecteezy/eamesbot

Meskipun dampak yang disebabkan oleh tapering off bakal terdengar mengerikan, pelaku pasar keuangan Tanah Air diharapkan tidak terlalu cemas dengan adanya taper tantrum. Hal itulah yang diungkapkan oleh Martha Christina selaku Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas. Dalam konferensi pers virtual yang dilansir Medcom, Martha menilai kalau kebijakan tapering tak bisa dihindari.

Menurutnya, tapering adalah sesuatu yang cepat atau lambat bakal terjadi, sehingga pelaku pasar keuangan harus melakukan adaptasi atas kebijakan The Fed tersebut. Senada dengan Perry, Martha pun menilai kalau dampak taper tantrum saat ini bagi Indonesia tidaklah bakal separah kejadian tahun 2013-2014 lalu. Sekadar informasi, Indonesia memang kala itu sudah diprediksi bakal terkena imbas besar.

Morgan Stanley bahkan memasukkan Indonesia dalam The Fragile Five alias lima negara dengan perekonomian rentan akibat taper tantrum jilid pertama. Hal ini terjadi lantaran ketergantungan Indonesia terhadap ana asing sangatlah tinggi, sama seperti India, Brasil, Afrika Selatan dan Turki. Sehingga jika tapering off kembali terjadi pada tahun 2021, The Fragile Five bakal kembali disorot.

Lantaran kebijakan pemangkasan stimulus moneter itu memberikan efek langsung ke sektor riil dan masyarakat seperti inflasi, sudah seharusnya Anda melakukan sejumlah langkah antisipasi. Tak hanya masyarakat, Bhima Yudhistira Adhinegara selaku ekonom CELIOS (Center of Economic and Law Studies), menganjurkan agar BI mulai mendorong kinerja ekspor sampai berusaha menaikkan cadangan devisa.

Sedangkan untuk investor saham, Christopher Andre Benas selaku Chief of Equity Research EMTrade, menyarankan untuk mencermati pertemuan The Fed. Meskipun begitu seperti dilansir IDX Channel, Benas tak menampik jika pergerakan pasar saham dalam sepekan terakhir masih cukup positif karena beberapa emiten mencatat kenaikan cukup besar.

Baca juga: Negara-Negara yang Alami Resesi Ekonomi Akibat Covid-19

Langkah lain untuk para investor dan pelaku keuangan pun diungkapkan oleh PT Infovesta Utama. Dikutip dari Bisnis, Infovesta berpendapat bahwa investor dengan tujuan jangka menengah hingga jangka panjang, bisa mulai melirik reksadana saham yang portofolionya terdiri dari saham-saham blue chip dengan kapitalisasi pasar besar.

Bukan itu saja, Anda juga harus menaruh perhatian pada saham-saham dengan fundamental baik karena sektor tersebut yang paling memiliki kemungkinan untuk pulih lebih cepat ketika pandemi usai. Beberapa sektor yang masuk dalam hitungan adalah emiten perbankan dan properti yang lagi-lagi hingga saat ini, masih didominasi oleh saham blue chip.

Sementara itu untuk Anda yang mungkin tidak terlibat langsung ke pasar saham, dalam menghadapi tapering off bisa makin memaksimalkan dana darurat demi bertahan hidup saat taper tantrum terjadi dan berimbas pada kenaikan harga bahan pangan sampai meningkatnya bunga kredit. Untuk investasi, emas si aset safe haven jelas bakal jadi pilihan terbaik karena saat capital outflow, harganya melambung.

  • Leverage 1:500
  • Min Deposit : $25
  • 50% Bonus setiap deposit
  • Perlindungan Saldo Negatif
  • Spread mulai 0,7 Pips
  • Platform: Metatrader MT4, MT5
  • Regulasi: IFSA (St. Vincent Grenadines)
  • Copy Trading
  • Akun Islami
  • Kontes !
  • Broker Forex & CFD Teregulasi Internasional
  • Min Deposit $100 ( Akun Standar )
  • Leverage hingga 1:3000
  • Platform Trading MT4,MT5, dan Terminal Trading
  • Bebas Biaya Komisi
  • Bonus $5 untuk pengguna akun baru
  • Tersedia akun Cen, Mikro dan Standar

Disclaimer On.

Pandangan diatas merupakan pandangan dari Sahamtop.com, Kami tidak bertanggung jawab terhadap keuntungan dan kerugian kamu sebagai investor dalam transaksi. Keputusan tetap ada pada Investor.

Tinggalkan komentar